Rabu, 10 September 2014

Mengamati ala Faizah

Bisa dibilang saya punya hobi yang dari dulu sampai sekarang masih dilakukan. Hobinya cukup aneh, kata saya. Saya senang mengamati orang, benda, apapun itu jika menarik perhatian saya sesaat maka akan saya amati , bahkan bisa sampai mendalam.

Hal - hal sepele yang menarik perhatian saya ini, biasanya saya kaji di otak saya saja alias tidak bertanya pada orang, tidak menuliskannya, bahkan untuk mencari kebenarannya lalu memunculkan hipotesis untuk kesimpulannya saya lakukan sendiri, berbekal dari buku juga pengalaman yang saya dapat.

Sudah cukup banyak postulat #halah, bukan deng, kesimpulan ala Faizah yang sudah dikeluarkan dan dibicarakan juga didiskusikan kepada pihak lain  (walaupun hanya dengan orang-orang sekitar saja). Kalaupun misalkan sedang tidak dibahas, maka hal tersebut akan saya jadikan bahan diskusi. Its fun, somehow. Untuk mengetahui hal-hal yang terlintas di kepala, lalu dicari kebenarannya berdasarkan fakta yang beredar, diolah sendiri, lalu disimpulkan, didiskusikan, dan semakin menambah insight dari sisi lain, terus cari lagi kebenarannya dari referensi yang lain pula. Kebanyakan dalam hal psiko-sosial-ekonomi-politik-keluarga-agama, sangat humaniora, he.

Contoh, saya pernah mengamati keterkaitan anak bungsu yang masuk pesantren karena keinginan orang tua, pernah juga tentang anak yang sejak kecil sudah dididik agama dengan baik, namun saat dewasa yang terjadi kebalikannya, dll. 


Walaupun kadang menurut saya, hasil yang saya dapatkan bisa dibilang cocok dan menambah pengetahuan, serta jadi tahu do and dont ke depannya, tetap saja tidak bisa dibilang valid (tapi valid menurut Faizah kekeke). Karena tidak dilakukan sesuai tata kajian ilmiah. Walaupun pada akhirnya, saya menemukan hasil penelitian yang hasilnya tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil kesimpulan saya sendiri (YEHET haha, apasih, kegeeran kkk).

Tapi setidaknya, hal itu menjadi tantangan tambahan untuk terus mengamati lalu menyimpulkan ala Faizah lagi. *sehingga terus mencari banyak referensi lainnya*.

And now, Im gonna talking bout, bahwa middle child (anak ke dua-ketiga-ke n yang berada di tengah) jauh lebih wise daripada anak pertama, anak bungsu, juga anak tunggal.

Hal ini juga sudah lama jadi perhatian sejak lama, karena hal ini juga berpengaruh dengan kemahiran komunikasi juga tingkat adaptasi di lingkungan baru, dan pergaulan secara umum. Bahan observasinya adalah teman-teman saya sendiri, juga saya (dan keluarga saya, termasuk adik saya hehe). Karena saya punya banyak teman mulai dari anak sulung, bungsu, anak tengah, hingga anak tunggal, dan saat di pergaulan pun sifat yang masing-masing punya berbeda, juga termasuk cara menanggapi sesuatunya berbeda, misal menanggapi perbedaan pendapat, dll. Karena saya percaya, segala sesuatunya berasal dari rumah, karena rumah adalah tempat pertama untuk belajar, sehingga saat keluar rumah adalah implementasinya.

Dari banyak mengamati, anak kedua atau anak yang berada di tengah biasanya lebih bijak menanggapi sesuatu, juga lebih baik dalam hal komunikasi.

Salah satu alasannya adalah, karena anak kedua tidak sebebas anak pertama dalam memiliki hak perintah, tapi juga tidak se-ditindas anak bungsu sama kakaknya untuk tidak bisa melawan. *halah apasih bahasanya*. Anak kedua biasanya jadi mediasi antara kakak dan adiknya, sehingga penggunaan bahasa untuk komunikasinya lebih baik. Karena dia bisa sopan untuk berbicara dengan sang kakak, tapi juga bisa bisa menjadi penyayang. Dalam hal pergaulan, biasanya anak kedua akan lebih memahami dan menghargai perbedaan yang ada dalam pergaulan tersebut. Karena ia sudah biasa mengalaminya saat dirumah. Sehingga, saat situasi seperti itu tidak begitu menggunakan emosinya. Dia akan mengambil jalan tengah agar pihak-pihak yang berbeda pendapat itu tidak merasa dirugikan, dan juga tidak merugikan dirinya sendiri tentunya, pandai dalam hal negosiasi. Singkatnya, anak kedua lebih peka daripada anak sulung atau anak bungsu. 

Saat bergaul, jarang untuk menjadi yang paling dominan dalam kelompok, walaupun dominan, dominannya tidak bersifat mutlak. Hal lainnya, biasanya anak kedua tergolong mandiri. Contohnya dalam hal menggunakan kendaraan. Anak pertama akan merasa hal itu menjadi wajib karena dia anak pertama *pengganti orang tua*, tapi anak kedua lebih ke perasaan "saya tidak mau membebani kakak saya, (juga bisa jadi ayah saya), dan mungkin siapa tahu adik saya membutuhkan saya disaat kakak / ayah saya sedang tidak bisa", sedangkan anak bungsu akan memaksa belajar kendaraan pribadi jika sudah tidak ada yang bisa diandalkannya -_-. Dalam hal mandiri, bisa semandiri anak pertama. 

Sesi pertama sekian dulu, insyaAllah dilanjut besok malem karena sekarang saya udah ngantuk banget -_- .

Eh, karena ini hanya pengamatan abal-abal ala Faizah yang bukan siapa-siapa, jangan dijadikan patokan ya, kalo mau komentar menyanggah mangga. Karena mungkin siapa tau beda objek beda hasil he :D



 
 

0 comments:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)

 
 
Copyright © [ notulensi ]
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com