gambar dari sini |
"zah, mau ikut atau di rumah aja ? Ummi mau ke cijerah", tanya ummi yang menghampiriku di kamar abang saat sedang asyik menonton acara TV favoritku.
"ummi mau kemana ?", tanyaku seraya bangun dari tempat tidur.
"mau ke cijerah, beliin sepatu buat ratna, kalo mau ikut ayolah cepet, abi udah nunggu di depan, kelamaan keburu tutup pula tokonya", jawab ummi dengan sedikit nada melayu padangnya yang biasa digunakan saat sedang di rumah.
Sebenarnya aku malas beranjak dari tempat tidur dan berganti baju untuk ikut ummi keluar rumah. Namun mengingat sudah lama aku tidak ikut keluar malam bersama ummi abi hanya sekedar untuk mencari angin dan chitchat dengan mereka, akhirnya akupun memutuskan untuk ikut.
"mi tungguin, izah ikut aja ah", teriakku menjawab pertanyaan ummi yang tadi dilontarkannya padaku.
Segera aku mengambil 'senjata' untuk keluar rumah. Kuambil jilbab langsung merk ternama R yang berwarna merah, rok hitam yang kugantungkan di belakang pintu pun langsung kukenakan. Tidak lupa kaos kaki yang kusimpan didalam laci lemari ikut menjadi sasaran 'senjata' yang harus ikut dibawa, dan jaket adidas biru pemberian abangku juga dengan sigap aku ambil dari dalam lemari dan segera aku kenakan, cuaca cukup dingin diluar. Maklum, memasuki pukul 7 malam di bandung, suhunya sudah cukup tinggi, dan tidak lebay untuk menggunakan kaos kaki di dalam rumah.
"ke jogja langsung ato ke cijerah dulu nih mi ?", tanya abi saat di persimpangan jalan menentukan arah tujuan pertama ke ummi.
"liat dulu lah ke cijerah, kemaren kan belum buka mungkin sekarang udah buka, kalo tutup baru kita ke jogja", jawab ummi kalem.
Kami memang punya satu toko sepatu langganan di daerah Pola Cijerah. Sudah sejak lama keluargaku berlangganan sepatu di toko sepatu ini, terutama untuk urusan sepatu sekolah yang harus selalu 'seragam' dengan teman-teman yang lain, toko sepatu ini bisa diandalkan. Selain itu, juga ada perjanjian dengan bapak penjual sepatu bahwa jika sepatunya saat sampai di rumah terasa kekecilan atau kebesaran, bisa ditukar dengan ukuran yang lebih pas.
Akhirnya kami sampai di toko sepatu langganan.
"Ratna ukuran berapa ya bi kira-kira ? Kemarin dikasih ukuran 35 kekecilan katanya", ummi memulai percakapan kecil dengan abi, menimbang-nimbang ukuran sepatu yang akan diberikan untuk Ratna.
"Bawa aja ukuran 38 dulu", abi menjawab tenang.
"gede banget ukuran 38 bi, emang kelas berapa ratna ? izah aja ukurannya cuma 37", aku ikut memberi pendapat walaupun tidak ada pihak yang meminta.
"SMP kelas 1, tapi kemaren dikasih ukuran 35 sempit sekali katanya", jawab ummi
"yaudah bawa aja ukuran 37, kalo kekecilan kan biasanya bisa dituker lagi kesini kan bi ?", lagi, aku memberi saran tanpa ada yang meminta.
"Yaudah, pak kita ambil nomor 37 dulu ya pak, kalo kekecilan deal-deal an bisa ditukernya masih berlaku kan pak ?", tanya ummi ke bapak penjual sepatunya.
"ya biasanya juga gitu kan bu, gausah khawatir", jawab bapaknya tenang.
"izah ga butuh sepatu lagi kan ?", ummi memancing dengan pertanyaan sederhananya.
"sepatu olah raga izah udah butut, beli lagi aja ya mi ya ? hehehe", yah ummi ditanya gini ya mana gamau buat beli yang baru, aku menjawab sekenanya.
"ya sok pilihlah", jawabnya
sebenarnya sejak sampai ke toko itu aku sudah menandai satu sepatu olahraga yang 'eye-cathcing' dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya pada ummi, hingga akhirnya waktu itupun tiba, saat ummi menanyakan kebutuhanku. Segera kujawab dengan menunjuk model sepatu yang sudah sejak tadi aku tandai.
"Pak, model sepatu ini ukuran 37 ada pak ?", tanyaku sambil memberikan sepatu contoh yang kuambil dari etalase toko.
"oh sebentar", jawabnya
Tidak lama kemudian bapak itu keluar ruangan sambil membawa kardus berisi sepatu yang aku minta, sepatu sport warna putih strip pink ukuran 37. "Bisa dicoba dulu teh, bisi kekecilah", ucapnya seraya memberikan sepatu olahraga itu padaku.
"udah mi, yang ini aja", aku memperlihatkan sepatu pilihanku pada ummi.
Aku dan hilmy segera masuk ke mobil menyusul abi yang sudah terlebih dahulu berada di dalam mobil, sementara ummi menyelesaikan transaksi jual beli dengan bapak penjual sepatunya.
Tak lama, ummi pun menyusul kami yang sudah ada di dalam mobil.
"kemana kita bi ? langsung ke ratna ato kemana dulu ?", tanya ummi begitu sampai di kursi mobil dan pintu mobil ditutup rapat.
"Ke Ratna dulu aja, kasih sepatunya kalo kekecilan/kebesaran kan bisa ditukar sekarang, kalo besok-besok lagi keburu kitanya lupa eh sekolahnya udah mulai", jawab abi bijak dan langsung tancap gas menuju tujuan kami, rumah Ratna.
Aku sendiri tidak mengetahui siapa Ratna, dan apa hubungannya dengan ummi - abi sehingga semua urusan sekolahnya akhir-akhir ini diuruskan oleh ummi. Setahuku Ratna hanya teman bermain adikku, Kuni yang masih duduk di kelas 6 SD, info berlebih tentang latar belakang keluarga Ratna atau alasan apapun sehingga ummi-abi bersedia repot membantunya, belum aku ketahui. Bertanya? aku enggan melakukannya, aku bukan tipe orang yang ingin mengetahui urusan anggota keluargaku dengan detil, asal tidak bertentangan dengan hukum atau hal negatif, aku tidak akan protes dan kepo berkelanjutan.
AKhirnya mobil abi berhenti di depan suatu rumah. Rumah ini masih berada satu komplek dengan rumahku. Meskipun satu komplek, jarak dari rumahku dengan rumah Ratna tidak bisa dibilang dekat. Ummi pun turun dari mobil diikuti Hilmy. Sebenarnya aku tidak harus ikut turun, tapi demi menjawab pertanyaanku tanpa harus bertanya, aku pikir lebih baik aku turun. Akupun turun dari mobil dan mengikuti langkah ummi, sementara abi tetap berada di mobil.
..tok tok tok.. "Assalammualaikum", ummi mengetuk pintu diikuti ucapan salam. Belum ada jawaban.
..tok tok tok.. "Assalammualaikum", ummi mengetuk pintu diikuti ucapan salam. Untuk kedua kalinya ummi mengetuk pintu, masih belum ada jawaban.
saat ummi mau mengetuk pintu untuk ketiga kalinya, ada suara menyahut , jawaban yang ditunggu "waalaikumsalam, tunggu sebentar", jawabnya dari dalam rumah. Tak lama pintu pun terbuka, terlihat seorang gadis kecil setinggi 1,2 meter di hadapanku dengan rambut yang terkuncir. Aku tidak bisa melihatnya begitu jelas, karena penerangan yang ada sangat kurang, gelap, bahkan untuk ukuran pekarangan rumah di malam hari yang seharusnya terang. Jangankan lampu pekarangan, aku sempat 'menoong' ke dalam rumah, sumber penerangan yang ada hanya 1.
"oh ummi, maaf lama mi buka pintunya", Ratna sumringah melihat kami yang sampai di rumahnya, dengan cepat mengambil tangan ummi, salim.
"iya gapapa ratna, ini dicoba dulu sepatunya, yang kemaren kan kekecilan ya ?", ummi memberikan kardus berisi sepatu kepada Ratna.
Sambil melihat Ratna mencoba sepatunya, dengan perasaan bersalah tidak sopan aku kembali 'menoong' ke dalam rumahnya. Terlihat banyak genangan air didalam rumah, atap yang (maaf) hampir rubuh karena lembab yang disebabkan genteng yang bocor sehingga kayu-kayu yang menjaddi langit-langit basah dan lembab seolah-olah akan segera jatuh. Segera aku menarik kepalaku dari 'toongan'.
"cukup mi yang ini", Ratna menjawab sambil memperlihatkan sepatu yang sudah digunakannya.
"kalo cukup alhamdulillah, sama siapa Ratna dirumah ?", tanya ummi
"cuma berdua sama ibu mi, ibu lagi di dalem", jawabnya singkat
"yaudah atuh, salam buat ibu ya, ummi pulang dulu", tutur ummi menutup percakapan seraya bersiap beranjak pergi. Refleks Ratna mengambil tangan ummi untuk salim, dan.... tanganku juga. Tidak tega untuk melepaskannya secara paksa, aku membiarkan ia 'salim' padaku juga.
"makasih banyak mi, salam buat abi", terdengar suara seperti menjerit dari dalam rumah, kupikir itu suara ibunya.
Sampai di mobil pun aku tidak ingin membahas apapun tentang Ratna. Aku biarkan suasanya yang dibentuk ummi-abi di dalam mobil berjalan seharusnya, sehingga aku bisa mengambil kesimpulan dari siapa Ratna dan apa hubungannya serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang selama ini membenak.
"Cuma berdua aja ratna sama ibunya bi", ummi memulai percakapan
"Ayahnya kemana ? Belum pulang juga ?", abi menjawab singkat
"Enggak tau, belum kayaknya", ummi menjawab lebih singkat
Setelah itu tidak ada bahasan apapun lagi tentang Ratna di dialam mobil. Tidak harus mengetahui semua dengan detil, aku cukup mengambil kesimpulan pada analisa abal-abalku, seperti biasa. Dari hasil analisa abal-abalku, Ayahnya mungkin pergi karena himpitan ekonomi yang tidak bisa ditanggungnya, sementara ibu Ratna tetap berusaha berjuang menghidupi dan menyekolahkan anaknya dengan berbagai cara yang bisa ia lakukan. The power of Mom. Analisa abal-abal bukan ? Tapi cukup untuk menjawab rasa penasaranku selama ini mengapa ummi dan abi mau repot-repot membantu sekolahnya. Ya, sedikit memang alasan yang aku dapatkan dari hasil 'penyelidikan' ini, tapi cukuplah alasan ini untuk menjawab 'kenapa membantu'-nya. Membantu memang tidak membutuhkan banyak alasan ternyata, hanya menghitung 1 alasan saja sudah lebih dari cukup menutup rasa penasaranku.
"Jadi, mau bakso kepala sapi, sate padang, siomay, ato langsung pulang aja ini ?", tanya abi memecah keheningan di mobil.
"Siomay aja bi, kemaren udah dibeliin imad sate padang", jawabku selalu semangat soal makanan.
Mobil pun meluncur ke rumah makan langganan kami, lagi. Memang banyak langganan kami.
Selama perjalanan pun aku lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Aku ternyata merenung, suatu keajaiban aku mengakui aku merenung. Merenung karena walaupun dalam satu komplek, masih ada orang yang membutuhkan bantuan untuk hidup, bahkan untuk sekedar sekolah SMP, makan, dll. Aku merenung, selama ini mungkin aku terlalu banyak menuntut dan meminta kepada orangtuaku. Memang, orangtuaku tidak menolak atau berbalik memarahiku, justru mengabulkannya. Tapi tidakkah kamu malu karena diluar sana masih banyak yang untuk bertahan hidup saja susah ?. Aku merenung, mungkin selama ini aku sombong, ditengah fasilitas memadai yang disediakan orangtuaku, aku memandang semua orang sama, memiliki fasilitas memadai juga, sehingga mengukur ukuran mereka dengan bajuku, bukan baju mereka. Ya ampun, aku malu sampai diajak ummi abi ke tempat ratna untuk sekedar berucap "alhamdulillah.....", meskipun dalam hati.
Dan sangat tidak menutup kemungkinan, di luar sana masih ada Ratna-Ratna lain yang harus dibantu. Atau di dalam kecamatan sendiri ? Atau kelurahan ? Atau bahkan masih dalam satu komplek dengan aku dan Ratna ? Wallahualam.
Aku ingin menangis, tapi aku pantang melakukannya dihadapan orangtuaku, sehingga aku diam saja selama perjalanan :p.
"Alhamdulillah sampai...", abi memberhentikan mobilnya lalu turun dari mobil. Kulihat keluar, Bakso Kepala Sapi. Oh, di Cihanjuang, pantesan dingin.
0 comments:
Posting Komentar
Thankyou for reading :)